Sekitar tahun 1967, setelah terhindar dari malapetaka besar akibat pergolakan kaum komunis, bangsa Indonesia mulai menata kehidupan yang lebih baik, bersama-sama dalam kesatuan berbangsa dan bernegara maupun dalam kelompok yang lebih kecil yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Pada tatanan birokrasi, situasi kehidupan beragama yang semakin kondusif di negeri kita juga mendapat perhatian serius dari Pemerintah. Tahun 1973 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen mengangkat kegiatan koor gerejani yang sifatnya intern dan lokal itu kepermukaan yang lebih tinggi dengan melembagakannya menjadi forum berbentuk Pesta Paduan Suara Gerejani (PESPARANI) sebagai usaha peningkatan hidup beragama melalui kesenian yang bernafaskan keagamaan Kristen. Digagaskan dalam bentuk lomba antar paduan-paduan suara antar sesama gereja dalam kota atau ruang lingkup daerah tertentu, forum ini merupakan kelanjutan dan penghargaan terhadap festival koor sehingga menjadi salah satu bentuk upaya peningkatan hidup beragama melalui kesenian yang bernafaskan kekristenan, jadi bagian dari pendukung budaya bangsa yang beraneka ragam dan diharapkan akan turut mendorong lebih pesat kesadaran ke arah pentingnya memuji Tuhan dengan berbagai bentuk seni seperti menyanyi, memetik kecapi, menabuh rebana, dsb.
Sejak diperkenalkan, PESPARANI langsung mendapat sambutan yang positif di berbagai daerah seperti di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi, Jawa Timur dan lain-lainya. Sambutan bukan hanya dari umat, tetapi juga oleh gereja, organisasi-organisasi kemasyarakatan dan Pemerintah Daerah sebagai kegiatan bersama yang saling membantu dengan penuh rasa saling hormat menghormati, sesuai dengan sifat bangsa Indonesia yang sosialis religius. Dari sudut pandang kepentingan nasional yang diusung oleh Departemen Agama, PESPARANI adalah bagian dari pembinaan mental spiritual umat beragama Kristen dalam rangka perwujudan nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.
Peran paduan suara yang mempunyai tempat dalam ritual gereja (Tata Ibadah Gereja) mendorong pemeluk agama Kristen terpanggil untuk turut ambil bagian dalam pelaksanaan PESPARANI sebagai wujud nyata keikutsertaan dalam Pembangunan Nasional. Melalui pesta itu mereka memancarkan nilai-nilai kebersamaan dan tali persaudaraan terhadap sesama umat manusia serta ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di tengah-tengah kebhinekaan dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, dan Pemerintah memberikan bimbingan dan pengarahan serta memfasilitasi bantuan yang bersifat dukungan, demi lancarnya penyelenggaraan pesta.
Selama kurang lebih 10 tahun gereja dengan jemaat yang ‘merasa terpanggil’ di berbagai daerah telah berusaha untuk menyelenggarakan PESPARANI-nya masing-masing. Namun dapat dimaklumi kalau liputan media cetak dan elektronik (baca: koran nasional dan TVRI pusat) masih sangat kecil untuk dibaca, dilihat dan didengar oleh daerah lain karena berbagai keterbatasan fasilitas media komunikasi. Dengan kata lain, PESPARANI masih bergerak dan berjalan di tempat.
Perubahan besar baru terasa setelah berkat dukungan pimpinan Departemen Agama RI, tokoh-tokoh gereja dan masyarakat kristiani, upaya Diijen Bimas Kristen menyelenggarakan PESPARANI dalam skala nasional dapat diwujudkan. Pada tanggal 20 September 1982, ketika akan memasuki purna bhakti, Menteri Agama, H. Alamsyah Ratu Prawiranegara menerbitkan surat No. B.IV/01/426/1982 yang isinya mengatakan bahwa Menteri Agama tidak keberatan atas upaya tersebut. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan, Drs. Soenarto Martowirjono tetap dapat menggunakan surat itu untuk menerbitkan Surat Keputusan atas nama Menteri Agama RI No. 52 Tahun 1982, Tentang Pembentukan Panitia Pelaksana Pesta Paduan Suara Gerejani (PESPARANI) Tingkat Nasional I dengan susunan kepanitiaan: Ketua Umum: St. W. Panjaitan, namun karena satu dan lain hal posisi itu diisi oleh Pdt. J.J. Matulessy, S.Th, SH sesuai dengan keputusan rapat panitia tanggal 10 Maret 1983 dan dituangkan dalam Surat Keputusan Dirjen Bimas (Kristen) Protestan No. 18 Tahun 1983, tanggal 23 Maret 1983.
Dalam waktu yang relatif singkat (kurang lebih tiga bulan), panitia bertekad mewujudkan Pesta Iman ini, dan berhasil. Perlu dicatat, betapa besarnya peranan seorang tokoh Kristen, Bapak Drs. Radius Prawiro, tanpa bantuan beliau, mungkin Pesparani Nasional I tidak akan terlaksana, karena sampai tiga minggu menjelang hari pesta itu, panitia baru mampu memperoleh dana kurang dari separuh yang direncanakan. Atas bantuannya, akhirnya seluruh dana yang dibutuhkan dapat terkumpul.
Meski dalam kondisi pas-pasan dan malah secara material terhadang oleh berbagai kekurangan, panitia yang baru dibentuk itu sesungguhnya tidak merasa terganggu. Sasarannya sangat jelas: Pesta Paduan Suara Gerejani adalah upaya kristiani agar dunia, masyarakat dan seluruh alam semesta beserta isinya bernyanyi memuji kemuliaan dan kasih Tuhan. Semua patut bersyukur dan percaya bahwa hanya Allah yang patut dipuji dan dibesarkan melalui puji-pujian. Umat Kristen di Indonesia menyatukan konsep dan pola pikir yang sama untuk merealisasikannya, yakni melalui Pesta Paduan Suara Gerejani.
Melalui Pesta ini gereja-gereja dengan jemaatnya (komunitas paduan suaranya) dipacu, didorong untuk mengesksplorasi, melatih dan meningkatkan kapasitas paduan suara masing-masing untuk menjadi bagian penting dan berkelanjutan dalam tata ibadah. Pada tahap proses yang sama, keikutsertaan mereka akan turut membina persaudaraan kristiani untuk mewujudkan kerukunan antar suku. Buah dari paduan seperti itu akan menjadi dasar yang kokoh, tulus dan terbuka dalam konteks hubungan dengan umat beragama yang lain, juga dengan pemerintah, secara setara dan nyata yang pada gilirannya akan mencerminkan kesatuan dan persatuan bangsa.
Terjun dalam PESPARANI sesungguhnya sama seperti keikutsertaan dalam kebaktian pelayanan kesaksian paduan suara di gereja. Setiap yang terlibat, konduktor, sopran, alto, tenor dan bas hingga pemusik yang mengiringi, harus selalu tampil dengan penuh tanggungjawab sehingga paduan suara yang dilantunkan adalah merupakan refleksi iman. Oleh karena itu rangkaian persiapan PESPARAWI perlu untuk mengupayakan hal-hal berikut:
1. Agar kualitas iman dan ketaqwaan kita semakin meningkat, tata cara dan pola hidup semakin terarah kepada kepenuhan firman Tuhan, hidup dalam kasih dan peduli terhadap sesama, jadi bagian dari pelayanan Kristiani khususnya dalam era pembangunan nasional saat ini agar kesejahteraan masyarakat semakin terwujud. Saling memperhatikan satu dengan lainnya, yang merasa mampu hendaklah menopang yang lemah. Sebaliknya yang lemah bersedia dituntun.
2. Agar memahami keaneka-ragaman denominasi sebagai anugerah Tuhan yang disyukuri, bukan sebaliknya, agar terwujud kerukunan. Tembok-tembok pemisah akan semakin menipis sehingga setiap umat Kristen di manapun menikmati persaudaraan, seiman dan rukun dalam sikap dan tindakan sehari-hari. Di sisi lain, kita berharap saudara- saudara beragama lainnya juga bersikap sama karena kebhinekaan kita sebagai bangsa hendaklah dijadikan sebagai sarana kesemarakan hidup berbangsa dan bernegara, bukan untuk menekan yang lain.
3. Agar memahami bahwa istilah pertandingan dalam bahasa lomba paduan suara, bukan dalam istilah sehari-hari di mana orang saling mengalahkan dan menjatuhkan dan yang dipertandingkan adalah kualitas pembinaan sehingga pengertian ‘lomba’ adalah “kualitas paduan suara diperbandingkan.” (bukan dipertandingkan).
4. Agar pesta paduan suara gerejawi jauh dari kesan pemborosan materiel karena kontingen-kontingen yang berpartisipasi juga mewakili seluruh lapisan Indonesia yang dalam berbagai hal kehidupannya masih diwarnai keterbatasan-keterbatasan yang sangat elementer.
5. Agar pesta paduan suara gerejawi tidak dipersaingkan dengan pesta keagamaan agama lainnya walaupun ada persamaan, yakni sama-sama digerakkan oleh Kementerian Agama RI.
Sangat diharapkan, melalui PESPARAWI Nasional setiap orang yang ikut berperan-serta akan selalu mengingat bahwa kegiatan PESPARAWI adalah bagian tugas pelayanan gereja. Dalam pemahaman itu, maka apabila nyanyian gereja diperlombakan itu berarti bahwa kualitas penyajian paduan suara yang membawakan lagu tersebut perlu dan harus pula semakin ditingkatkan. Sekaligus, bagian dari upaya kita untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) penyanyi-penyanyi gereja.
PENGERTIAN PESPARAWI NASIONAL
Untuk mendapat pemahaman yang sama, maka pengertian tentang Pesparawi perlu kita sepakati sbb:
1. PESPARAWI adalah singkatan Pesta Paduan Suara Gerejawi. Ketika dibentuk, singkatan yang dipergunakan adalah PESPARANI, dari Pesta Paduan Suara Gerejani. Perubahan terjadi setelah seorang ahli Bahasa Indonesia, DR. Yus Badudu yang tampil dalam musyawarah Nasional pesta kedua di Tomohon (1986) mengusulkan perubahan menjadi Pesta Paduan Suara Gerejawi (PESPARAWI), dan disetujui oleh Munas.
2. Kegiatan PESPARAWI yang diselenggarakan oleh LPPN menaungi dan menyangkut serta melibatkan gereja-gereja di Indonesia secara nasional dan secara formal diikuti dengan pencantuman kata ‘Nasional’ untuk membedakannya dari kegiatan Pesta Paduan Suara Gerejawi (PESPARAWI) yang diselenggarakan oleh organisasi (gereja, sekolah minggu, pemuda, kaum Bapak, Kaum Ibu/Seksi Perempuan dll.) atau lembaga-lembaga Universitas, LSM, perusahaan dsb), yang secara langsung maupun tidak langsung tidak terkait dengan LPPN.
3. PESPARAWIi adalah salah satu bentuk kegiatan kerohanian yang sekaligus memperhatikan, menghargai dan mendorong pengembangan seni budaya yang bernafaskan keagamaan;
4. Dalam PESPARAWI, kata “Pesta” dimaksudkan sebagai kegiatan yang bersifat perayaan ritual kristiani yang pada saat-saat tertentu wajar diadakan sebagai pernyataan iman dan percaya yang bersifat rohani, bukan dalam pengertian pesta ria dan foya-foya yang bersifat jasmaniah.
5. PESPARAWI adalah Pesta Iman yang merupakan bentuk ibadah syukur dan puji-pujian kepada Allah yang telah menyatakan diri-Nya di dalam Yesus Kristus Tuhan kita.
6. PESPARAWI terutama mengandung unsur perbandingan mutu menyanyi paduan suara, bukannya kompetisi yang saling menjatuhkan. Kelebihan salah satu kelompok hendaknya menjadi pendorong bagi kelompok lainnya untuk meningkatkan mutu nyanyian dan paduan suara.
7. PESPARAWI dipersiapkan sebaik-baiknya agar tidak sekedar bernyanyi untuk berlomba, tetapi harus diarahkan kepada tujuan utama yaitu memuliakan nama Tuhan melalui segala tingkah laku dan kerjasama yang mencerminkan persekutuan umat Kristen yang berdasarkan kasih.